Dilema Amil (II)

Antara Izzah & Iffah

..”Dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al Baqarah [2] : 195)

Sahabat Amil yang dirahmati Allah…
Seusai saya menyampaikan tulisan “Dilema Amil” bagian pertama, ternyata di luar dugaan tulisan tadi mendapat respon yang cukup banyak. Banyak para amil selama ini memendam perasaan yang sama akan nasib dan masa depannya. Terutama mengenai kondisi pendapatan para amil yang diterima dari organisasinya masing-masing. Amil walau tetap sabar dan ikhlas, begitu terpancing dengan isi tulisan kemarin, mereka akhirya pada bercerita.

Ada amil yang setuju dengan isi tulisan, bahkan katanya, masih ada yang agak terlewat yang diceritakan dalam tulisan tadi. Katanya, nasib amil zakat ternyata kurang ada yang memperjuangkan. Kata sebagian mereka : “Ketika gedung dan tampilan fisik lembaga zakat sudah mengarah pada wujud sebuah kantor bank, ternyata nasib amil dan pendapatannya masih belum mengarah ke sana, masih jauh dari kelas pegawai bank”. Apakah ini sebuah ungkapan yang keliru?, tidak juga, karena faktanya lewat perbincangan langsung, ada yang malah bilang : “Mas, terus ditulis ya, tentang nasib amil. Sebuah profesi yang nasibnya masih harus terus diperjuangkan”.

Saya merenung tadi malam, ada masalah apa sebenarnya dengan nasib amil. Apakah para pembuat kebijakan di Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) tahu, bahwa ada keluhan di tingkat karyawan atau pegawai (amil) terkait dengan nasib mereka. Apa masalahnya soal pendapatan amil yang belum bisa menutup kebutuhan harian mereka atau justru ada masalah lain. Masalah gap pendapatan di lingkungan amil kan berbeda setiap lembaga, apalagi soal size dan level lembaganya juga tak sama. Jelas tak bisa disamaratakan nasib amil di sejumlah lembaga tadi.

Di luar itu, tak sedikit pula amil zakat yang tetap ikhlas menjalani aktivitasnya tanpa terpengaruh soal pendapatan diantara mereka. Nah, tulisan bagian kedua ini, kita ingin memperbincangkan persoalan dilema amil yang kaitannya dengan adanya dua tarikan yang muncul. Yang pertama adalah tarikan untuk menjaga marwah dan kehormatan OPZ, atau yang biasa di istilahkan izzah lembaga. Dan satu lagi tarikan untuk menjaga diri, atau yang popular diistilahkan ‘iffah. Semoga tulisan yang singkat ini mampu memberikan gambaran terkait hal ini dan menjadi cermin kita untuk berkaca.

Kesadaran Menjaga Izzah
Izzah bukan pencitraan, karena izzah adalah perintah agama untuk menunjukan betapa mulianya Islam sebagai sebuah ajaran bagi kehidupan manusia. Izzah merupakan refleksi sebuah harga diri yang mulia dan agung. Izzah ini harus ada dan tumbuh dalam hati setiap mukmin dan menjadi penghias setiap relung jiwa. Izzah juga merupakan kemuliaan, kehormatan dan kekuatan. Sumber terciptanya rasa dan perilaku Izzah bersumber pada Allah Rabbul ‘Alamiin. Izzah yang terpelihara baik akan melahirkan kekuatan dan kemuliaan, karena hanya Allah pemilik sebenar-benarnya izzah, karena Allah itu Rabbul Izzati dan Allah menamakan dirinya ‘Al-Aziz’ (Maha Mulia, Maha Perkasa). Izzah diberikan pada makhluk-Nya sesuai pendekatan pada Rabbnya, semakin dekat dengan Allah, maka makhluk tersebut semakin memiliki Izzah. Makhluk yang paling dekat dengan Allah adalah para Rasul kemudian Mu’minin. …“Izzah itu milik Allah, RasulNya dan Mu’minin” (QS. Al Munafiqun (63) : 8).

Sedangkan pengertian ‘iffah adalah menahan. Adapun secara istilah ; menahan diri sepenuhnya dari perkara-perkara yang Allah haramkan. Orang yang melakukan ‘iffah disebut ‘afif. Dengan demikian, seorang yang ‘afif adalah orang yang bersabar dari perkara-perkara yang diharamkan walaupun jiwanya cenderung kepada perkara tersebut dan menginginkannya. Bila kita cermati, Izzah dan ‘Iffah ini sesungguhnya adalah akhlaq yang tinggi, mulia, dan dicintai oleh Allah Ta’ala. Bahkan akhlaq ini merupakan sifat hamba-hambaa Allah Ta’ala yang shalih, yang senantiasa memuji keagungan Allah Ta’ala, takut akan siksa, adzab, dan murka-Nya, serta selalu mencari keridhaan dan pahala-Nya.

Izzah dan ‘iffah ini penting bagi amil yang ada di gerakan zakat Indonesia. Karena dengan tumbuh dan berkembangnya perasaan dan perilaku ini amil diharapkan menjadi sosok yang lebih utuh. Ia akan bangga terhadap OPZ-nya, dan membangun kebanggaannya dengan cara memastikan organisasinya tampil terbaik, dengan cara terbaik dan punya spirit professional yang tak kalah dari industri perbankan atau lainnya. Saat yang sama, ia juga memastikan punya kemampuan menjaga diri dari hal-hal negative di dalam lembaganya, baik dari urusan pengelolaan maupun dari tindak tanduk atau perilaku personal para amilnya.

Orang-orang yang jadi amil, kemudian terpelihara sifat izzah dan ‘iffah dalam dirinya, insyaallah akan menjadi pilar kuat tumbuhnya kepercayaan dari seluruh stekholders dunia zakat. Siapapun ia, baik muzaki, mustahik, regulator, pemerintah,maupun media dan lembaga sipil kemasyarakatan lainnya akan nyaman berkomunikasi dan beraktivitas bersama. Lahirnya sikap izzah di gerakan zakat akan menyelamatkan gerakan zakat dari perpecahan, saling merasa lebih hebat serta merasa lebbih dipercaya publik.

Di era social media seperti ini, pencitraan sudah tidak lagi sesuai jamannya. Jejak digital telah dengan jelas memberi informasi kepada publik akan konsistensi sebuah sikap atau perilaku. Di dunia gerakan zakat Indonesia, sikap izzah juga menjadi salah satu kekuatan yang akan menyelamatkan gerakan zakat dari efek bola salju bila ada kasus yang kurang baik di salah satu lembaga zakat. Insyaallah bila sikap izzah ini dipegang, dipelihara dan secara konsisten diamalkan dalam kehidupan nyata, maka bila ada turbulensi di gerakan zakat, hal ini akan lebih mudah untuk masuk ke fase pemulihan.

Bagi para aktivis gerakan zakat Indonesia, ruh “bisnis utama” pengelolaan zakat sesungguhnya adalah kepercayaan. Dan fatsoen yang berlaku di gerakan zakat adalah, “saling menjaga agar satu lembaga tak jatuh ke dalam keburukan, akan menyelamatkan semuanya dari ketidakpercayaan”. Ini artinya, bila salah satu lembaga diketahui ada kekurangan, bahkan bisa menjurus ke hal negatif dari sisi pengelolaan, maka kewajiban lembaga yang lain untuk mengingatkan dan memastikan bisa kembali pada aturan dan rencana yang sesuai dengan regulasi dan aturan yang ada. Membiarkan satu lembaga jatuh, akan menyeret lembaga lainnya dan meruntuhkan langit kepercayaan masyarakat terhadap lembaga zakat.

Cara memperbaiki dan saling menegur agar kembali baik di lembaga yang ada di gerakan zakat ini unik. Para peneliti, apalagi yang selama ini hanya melihat dari luar tentang gerakan zakat, khususnya melihat jumlah penghimpunan, luasan program dan dampaknya, tentu akan sulit menangkap situasi kebatinan gerakan zakat Indonesia. Dari permukaan luar,bisa jadi gerakan zakat Indonesia ini landai, tapi sesungguhnya bila ada yang sanggup memasuki jantung-jantung persoalannya, ia akan terperangah. Tak mudah relasinya, apalagi soal manajemen emosi dan perasaan para amilnya.

Di dunia gerakan zakat Indonesia memang ada yang Allah takdirkan jadi bagian penting pengambil kebijakan zakat Indonesia, namun bila ia tak berasal dari dunia gerakan zakat Indonesia, maka bisa jadi ia tak paham cara berkomunikasi dengan para aktivis dan penggeraknya. Ada regulasi dan tata kelola di dunia gerakan zakat Indonesia, tapi saat yang sama, ada perasaan dan suasana kebatinan yang tumbuh dan menjadi lansekap cara bergaul dan berbicara para aktivis dan penggerak dunia zakat Indonesia.

Dalam perjalanannya, bila ada gap komunikasi antara dunia formal zakat Indonesia dengan para aktivis dan penggeraknya, maka lhat sajalah lebih dalam latar belakangnya masing-masing. Persoalan komunikasi ini memang tak mudah di gerakan zakat. Jangankan dengan orang berlatar belakang yang berbeda, lha wong dengan sesama aktivisnya saja tak mesti mulus. Apalagi juga bila dengan sejumlah “alumni” gerakan zakat. Jangankan soal perasaan yang harus bisa saling mendekat, bahkan Istilah “gerakan zakat” ini sendiri sebenarnya tak ditemukan dalam pembicaraan formal pemangku kepentingan zakat. Apalagi dalam regulasi yang ada. Istilah “gerakan zakat” lahir dari rahim para aktivis dan penggeraknya untuk menekankan akan adanya spirit perjuangan yang lebih dalam maknanya dari sekedar “menjalankan profesi sebagai pejabat atau petugas pengelola zakat”.

Inilah yang jadi pekerjaan rumah terbesar gerakan zakat Indonesia, menyatukan rasa kebanggaan dalam satu gerakan dan gelombang perbaikan umat dan bangsa. Beragamnya perasaan bahwa setiap lembaga itu punya harga diri, kehormatan dan kemuliaan bila tidak ter-menej dengan baik akan jadi boomerang bagi gerakan zakat Indonesia. Di balik soliditas dan kuatnya ukhuwah para amil zakat, saat yang sama tumbuh spirit fastabiqul khairat untuk menjadi yang terbaik, terdepan dan terbesar. Sebaliknya, dalam situasi-situasi tertentu, gerakan zakat demikian kuat soliditasnya, apalagi jika ada common enemy yang muncul.

Kembali ke soal kaitannya dengan izzah dan cara berkomunikasi di dunia gerakan zakat, jika pendekatannya melulu formal, apalagi dibumbui dengan “ancaman” berbasis regulasi yang mengutip akan adanya sanksi dan hukuman, jelas cara komunikasi yang terlihat tak memahami situasi kebatinan gerakan zakat Indonesia. Di tengah izzah yang tumbuh dalam nurani amil-amil dan aktivis gerakan zakat Indonesia, gaya pendekatan ini agar mereka mendengar dan mengikuti aturan yang ada sesungguhnya nisbi. Kalaupun benar mengikuti, hadir dalam seluruh dinamika yang ada, belum tentu nuraninya merasa dihargai secara memadai. Amil ini punya izzah, punya kebanggan atas urusan yang ia kelola. Spirit ini yang menjadikan seseorang yang tadinya biasa saja lalu ketika jadi amil, ia merasa telah berbuat baik, bahkan jadi “wakil gerakan kebaikan” dalam mengurus bagian umat yang sangat memerlukan.

Jangan abaikan perasaan para amil dan aktivis gerakan zakat Indonesia. Di balik diamnya, bisa jadi ada do’a-do’a dan gandengan tangan yang saling ditautkan. Jangan anggap remeh para amil yang sejak adanya regulasi tentang zakat begitu antusias mengurusnya dan bertekad menjadi lembaga yang paling patuh sesulit apapun prosesnya. Siapapun yang duduk di pengambil kebijakan urusan zakat, mari kita mudahkan prosesnya dan bila perlu dibimbing dan didampingi agar mereka semua bisa lebih nyaman dan merasa terlindungi dengan baik. Istilah “illegal” atau tidak sesuai hukum adalah istilah yang sedikit banyak menyakiti perasaan gerakan zakat Indonesia. Para amil dan aktivis gerakan zakat yang masih berharap bisa berproses demikian tertohok dengan munculnya istilah-istilah yang justru kontraproduktif bagi tumbuh dan berkembangnya izzah gerakan zakat Indonesia.

Di saat gerakan zakat Indonesia tumbuh dengan semangat bahu-membahu dengan spirit kegotongroyongan membangun izzah dan kehormatan, bahwa zakat ini sesungguhnya penting untuk terus ditingkatkan dan peran-nya diperbaiki. Justru ada istilah tadi yang bukan hanya menyulut kekagetan, namun juga lebih dari itu merefleksikan tidak adanya semangat yang sama dalam memajukan gerakan zakat Indonesia. Para aktivis dan penggerak zakat di Indonesia tak sedikitpun terpikir untuk menyalahi, apatah lagi melakukan aktivitas yang tak sesuai dengan regulasi. Idealnya, bila sama-sama ingin memajukan dan menjaga marwah gerakan zakat, mari kita saling berbicara dan berkomunikasi untuk mencari yang terbaik bagi gerakan zakat Indonesia. Sejatinya perasaan amil yang dihargai, apalagi dibantu dimudahkan dengan dicarikan jalan tengah agar sesuai dengan seluruh aturan yang ada, bukan hanya akan membuat situasinya menjadi sangat kondusif, bahkan apapun yang dimintakan ke para penggerak dan aktivis zakat serta organisasinya, pasti mereka berikan.

Jiwa para amil dan aktivis zakat ini kan secara umum adalah para pemurah. Walau mereka bisa jadi bukan orang kaya secara personal, tapi melalui lembaganya, mereka bekerja siang malam untuk membantu sesama yang membutuhkan, bahkan bila perlu, mereka juga tak segan berkorban harta dan mungkin juga jiwa. Inilah sebenarnya yang perlu dijaga ketika masuk dan menjadi bagian gerakan zakat Indonesia. Menjaga izzah dan marwah lembaga ini penting, termasuk menjaga harga diri para amil, aktivis dan penggerak zakat di dunia gerakan zakat Indonesia.

Ingatlah, zakat bukan industri biasa. Bahkan sebagiannya tak mau zakat disebut sebuah industri. Saat yang sama, zakat dan para pengelolanya juga sesunguhnya begitu merdeka jiwanya. Mereka, kalau sudah urusan panggilan nurani untuk membantu sesama, akan bergerak kapanpun dan dalam kondisi bagaimanapun. Bahkan kini lembaga zakat yang ada, sebagiannya telah bekerja untuk membantu persoalan kemanusiaan di negeri-negeri yang jauh dari negara kita. Ini menunjukan bahwa era lembaga zakat kini sudah demikian maju dan sanggup melampaui kecepatan negara dalam melakukan respon persoalan kemanusiaan yang jauh sekalipun.

‘Iffah yang Indah
Ketika demikan kuat perasaan bangga akan kedudukan, fungsi, dan peran sebagai amil yang membantu urusan umat, maka sifat ‘iffah akan menjadi rem yang baik bagi keseimbangan perasaan seorang amil. Ketika semangat menumbuhkan dan menjadikan OPZ masing-masing tumbuh hebat dan jadi yang terbaik. Mulai dari wujud fisik, tampilan interior yang bahkan melampaui bank dan system serta SOP kerja yang rapi, sistematis dan terstuktur baik, maka sifat ‘iffah adalah penyelaras agar harmoni perasaan amil bisa tercipta. Jangan sampai dengan semua yang telah dilakukan dan dikembangkan, justru amil dan lembaganya terjebak memasuki perlombaan sesaat yang hanya berhenti pada perasaan bangga semata. Anugerah award, penghargaan jadi Top of Mind di sejumlah survei dan lembaga riset serta panggilan menjadi pembicara mewakili gerakan zakat yang lain di berbagai forum nasional maupun internasional jangan sampai menjebak amil dan penggeraknya untuk masuk ke dalam istilah “Gigantisme”. Istilah tadi merujuk bahwa ia dan lembaganya menjadi yang terhebat, terbesar dan ter-ter yang lain. Jebakan perasaan tadi, bila tidak diimbangi dengan kesadaran yang utuh akan makna dan substansi gerakan zakat, maka hanya akan melahirkan izzah yang berlebihan, malah bisa justru kering dari nilai-nilai keberkahan.

Apa yang amil dan penggerak zakat dapatkan bila ternyata spirit keberkahan jauh dari jangkauan. Amil sejati, para aktivis dan penggerak zakat selama ini harus sadar bahwa urusan zakat ini kan urusan penegakan syariat. Untuk apa penghargaan yang berlebihan bila kita malah dijauhkan dari keberkahan. Keberkahan ini kan urusan hati, sebuah perasaan yang tumbuh dalam nurani atas rasa syukur yang dinikmati walau mungkin secara kasat mata dan matematika manusia tak sesuai angkanya. Menjadi rusak logika keberkahan kita, bila ternyata kita mulai terjangkiti virus bangga diri, bahkan menjurus pada munculnya tunas-tunas kesombongan. Penghargaan setinggi apapun, sejatinya tak masalah bila kita sanggup tetap bersetia menjaga hati dan terlepas dari merasa lebih dari pihak lain.

Inilah ‘iffah yang harus kita jaga, sehebat dan sebesar apapun OPZ yang kita kelola, para amil, aktivis dan penggeraknya harus memiliki spirit ‘iffah dan senantiasa berdiri kokoh memegang amanah yang ada di pundaknya masing-masing. Cara-cara mengejar izzah lembaga lewat tampilan fisik, besarnya raihan penghimpunan, banyaknya penghargaan serta kerja-kerja membesarkan OPZ masing-masing dengan segala macam cara, tak boleh dibiarkan menggerus nilai-nilai amil sejati. Amil sejati adalah amil yang senantiasa mengingat Allah dalam seluruh aktivitasnya. Mereka bekerja siang malam dan berlelah-lelah dalam bingkai mencari pahala untuk keabadian hidup setelah kehidupan dunia yang fana ini. Tanpa izzah yang benar, justru kesibukan dan rutinitas aktivitas amil yang mulai terindikasi melupakan Allah hanya akan membuat kita tak berharga di sisi Allah SWT. “Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa pada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa pada diri sendiri. Mereka itulah orang-orang fasiq”(QS. Al Hasyr (59) :19).

Seorang amil sejati bukan hanya seorang muslim, karena ia sejatinya adalah juga juru dakwah di bidang pelayanan umat. Kerja dan aktivitasnya siang malam yang tak kenal lelah seharusnya berdiri di atas landasan ikatan (urwah) yang erat dengan Rabbnya. Izzah sebagai pribadi muslim, tak terputus sedikitpun dari nilai-nilai dakwah ilallah. Izzah dan ‘iffah bagi amil sejati pasti tidak mudah, apalagi bila berbicara soal kecukupan biaya hidup saat ini yang tak lagi murah. Harga-harga demikian tinggi dan biaya-biaya lain pun seakan berlomba ikut-ikutan terkerek naik. Belum lagi makin lama anak-anak juga semakin tinggi sekolahnya dan memerlukan biaya pendidikan yang tak sedikit.

Belajar ‘Iffah pada Bughats
Para amil yang dicintai Allah…
‘Iffah memang tidak mudah implentasinya. Apalagi kalau sudah urusan pendapatan. Dalam moment ini, mari kita bercermin pada cerita mengenai bughats atau anak gagak. Cerita ini disampaikan seorang ulama dari Suriah. Ia sering mengulang sebuah do’a untuk ia lantunkan. Doa’a yang ia baca : “Ya Allah, berilah aku rezeki sebagaimana Engkau memberi rezeki kepada bughats”

Mengapa “bughats”? bukan binatang lainnya. “Bughats” adalah anak burung gagak yang baru menetas. Burung gagak ketika mengerami telurnya akan menetas mengeluarkan anak yang disebut “bughats”. Dalam Bahasa Arab, ketika sudah besar dia menjadi gagak (ghurab). Lalu apa bedanya antara bughats dan ghurab?. Anak burung gagak ketika baru menetas warnanya bukan hitam seperti induknya, karena ia lahir tanpa bulu. Kulitnya berwarna putih. Saat induknya menyaksikanya, ia tidak terima itu anaknya, hingga ia tidak mau memberi makan dan minum, lalu hanya mengintainya dari kejauhan saja. Anak burung kecil malang yang baru menetas dari telur itu tidak mempunyai kemampuan untuk banyak bergerak, apalagi untuk terbang. Lalu bagaimana ia makan dan minum?

Allah Yang Maha Pemberi Rezeki yang menanggung rezekinya, karena Dialah yang telah menciptakannya. Allah menciptakan “aroma” tertentu yang keluar dari tubuh anak gagak tersebut sehingga mengundang datangnya serangga ke sarangnya. Lalu berbagai macam ulat dan serangga berdatangan sesuai dengan kebutuhan anak gagak dan ia pun memakannya.Keadaannya terus seperti itu sampai warnanya berubah menjadi hitam, karena bulunya sudah tumbuh. Ketika itu barulah gagak mengetahui itu anaknya dan ia pun mau memberinya makan sehingga tumbuh dewasa untuk bisa terbang mencari makan sendiri. Secara otomatis aroma yang keluar dari tubuhnya pun hilang dan serangga tidak berdatangan lagi ke sarangnya.

Para amil, aktivis dan penggerak zakat sekalian…
Sungguh Allah SWT benar adanya. Dia-lah Allah, Ar Razaq, Yg Maha Penjamin Rezeki “Kamilah yang menentukan penghidupan mereka dalam kehidupan dunia” (QS. Az-Zukhruf : 32)

Sesungguhnya, rezeki kita akan mendatangi kita di mana pun kita berada, selama kita menjaga kedekatan dan ketakwaanmu kepada Allah, sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam :

“Sesungguhnya Malaikat Jibril membisikkan di dalam qalbuku bahwa seseorang tidak akan meninggal sampai sempurna seluruh rezekinya. Ketahuilah, bertaqwalah kepada Allah, dan perindahlah caramu meminta kepada Allah. Jangan sampai keterlambatan datangnya rezeki membuatmu mencarinya dengan cara bermaksiat kepada Allah. Sesungguhnya tidak akan didapatkan sesuatu yang ada di sisi Allah kecuali dengan menta’atinya”

Bagi kita para amil, aktivis dan penggerak zakat, tidaklah pantas bagi kita untuk khawatir dan justru melupakan Allah dengan sibuk berebut rezeki, apalagi sampai tidak mengindahkan halal haramnya rezeki itu dan cara memperolehnya. Bila saat ini jumlah pendapatan kita belum sesuai kebutuhan, mari dibicarakan dengan para pihak terkait dengan baik dan penuh musyawarah kekeluargaan. Saat yang sama, tanamkan terus rasa sabar, ikhlas dan rasa berkorban kita untuk bisa menjaga diri dari meminta-minta dan mengambil sesuatu yang bukan hak kita. Kita juga senantiasa harus bersyukur atas nikmat dan rejeki yang telah Allah berikan selama ini. Tak lupa lakukan juga introspeksi diri, apakah muamalah dan pekerjaan kita sebagai amil yang professional sudah dilakukan dengan kemampuan terbaik yang kita miliki atau belum. Sudah sesuai dengan aturan dan tahap-tahap rencana pelaksanaan yang ada atau belum?

Para amil yang dimuliakan Allah…
Mari kita terus jaga semangat dalam bekerja sebagai amil dengan sebaik-baiknya. Janganlah kita takut akan kurangnya rezeki, Allah Subhanahuwata’ala sudah mengatur rezeki. Sadarilah kitalah yang sebenarnya tidak pernah puas dan qanaah (menerima) dalam mensyukuri nikmat. Perbanyaklah bersyukur dan beristiqfar agar kita disayang Allah Subhanahuwata’ala.

Semoga hidup kita dicukupkan oleh rezeki yang halalan thoyyiban dan dipenuhi keberkahan didalam mencari karunia Allah Subhanahuwata’ala diatas muka bumi ini

Mari kita juga berdo’a :
“Ya Allah, berilah aku kecukupan dengan rezeki yang halal, sehingga aku tidak memerlukan yang haram, dan berilah aku kekayaan dengan karuniamu, sehingga aku tidak memerlukan bantuan orang lain, selain diri-Mu” (HR. Ahmad)

Jaga terus spirit amil sejati.
Hidupkan terus ruh perbaikan gerakan zakat Indonesia

 

#Ditulis oleh Nana Sudiana (Direktur Pendayagunaan IZI & Sekjend FOZ) menjelang fajar Rabu, 26 September 2018 di Belahan Timur Kota Jakarta. Tulisan ini juga di inspirasi sebagian dari tulisan ustadz Munari Abdillah

*di edit seperlunya  

Scroll to Top