Ku kayuh sepeda untuk kesembuhan Anakku

ibu-atunKeringat yang mengucur membasahi badan tak ia hiraukan, mengalir seolah tiada henti sebagai bukti sayangnya kepada keluarga. Tiga kilometer lebih perjalanan harus ia tempuh pulang pergi untuk mengatar buah hatinya berobat, di temani sepeda usang yang menjadi kuda tumpangan manakala ia bepergian. Hal itu dijalaninya tanpa mengeluh walau harus berpeluh di bawah terik matahari yang panas menyengat ia tetap mengayuh sepedanya, sesekali ia menepi hanya untuk sekedar memulihkan stamina kembali. Seminggu sekali Ibu Atun harus mengantar anaknya ke RS Soeradji Tirtonegoro untuk menjalani pengobatan dan cuci darah di karenakan gagal ginjal.

Di usianya yang tak lagi muda Ia harus berjuang menghidupi keluarga seorang diri. Suami Ibu Atun menderita katarak yang sampai saat ini belum bisa dioperasi karena tidak ada uang untuk berobat di samping itu kini kaki Bapak Yatin pun juga tidak berfungsi sepurna. Kejadian naas telah menimpanya sewaktu ia sedang mencoba membantu istrinya memasak, dengan harapan begitu istrinya pulang ia bisa menghidangkan makanan, namun ternyata Allah menentukan lain tanpa sengaja panci yang di bawahnya pun tumpah dan mengenai kedua kakinya.

Apa boleh di kata, itulah ketentuan Allah yang musti Ia jalani, “kulo Naming buruh tani kok pak, tandur, matun, ani-ani. wes nopo mawon sing penting ura maling kulo mboten isin”. Tutur Ibu Atun saat menceritakan kehidupannya.

Walau hidup dalam kondisi yang miskin ia tetap tau mana yang baik dan mana yang buruk, ia lebih memilih rezeki yang halal biarpun harus diperolehnya dengan penuh perjuangan. Penghasilan sebagai seorang buruh tani memang tidak menentu, hanya di musim-musim tertentu saja tenaganya kadang dipakai, namun di saat tidak musim tanam kadang beliau pun mencoba berjualan jagung untuk tetap menjaga agar dapurnya mengebul.

Belum lagi biaya yang dikeluarkan untuk berobat Ia pun harus pinjam sana sini untuk mencukupinya, walau memang sudah mendapatkan Jaminan Kesehatan dari pemerintah namun Ia pun harus mengeluarkan biaya tambahan manakala anaknya membutuhkan tambahan vitamin. Selain itu Ia juga harus menyediakan biaya untuk transfusi darah, karena pemerintah hanya mengganti 2 kantong darah saja setiap kali berobat maka kantong yang ke 3 Ibu Atun sendirilah yang harus membayarnya.
Kini Ia pun juga harus pasrah melihat Anaknya yang pertama “Miftakul Janah” harus merelakan masa depannya. Orang tuanya tak sanggup lagi membiayai sekolah, Ia pun harus mengutamakan kesehatan anaknya dan kebutuhan sehari-hari keluarga. Di balik semua yang di alami Ia masih tetap bersyukur karena masih diberikan kesehatan sehingga bisa mengurus keluarganya. Ia berharapan semoga Allah memberikan kesehatan kepada Anak-anak dan suaminya.

Tinggalkan Komentar