Dilema Amil (I)

“Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri,…”(QS. Al-Isra’ (17) : 7)

Sahabat Amil dan para pejuang gerakan zakat…

Amil bukanlah para malaikat yang suci tanpa noda yang melekat. Amil bukan pula syetan yang senantiasa salah dan pantas dilaknat. Amil adalah manusia biasa yang tentu bisa salah dan bisa pula khianat. Oleh karenanya amil secara ideal haruslah mereka yang bersemangat untuk senantiasa berjuang demi umat. Mereka harus menjadikan Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) yang mereka kelola bagian dari ideologi perjuangan dan penegakan idealisme masa depan.

Tapi masalahnya adakah orang-orang yang rela meninggalkan kesenangan dunia yang menjanjikan melimpahnya kekayaan dan tingginya kedudukan dihadapan manusia lainnya untuk kemudian justru memilih menjadi amil zakat. Adakah mereka yang secara lahir dan batinnya “siap miskin” ketika mereka akhirnya memutuskan menerjuni dunia zakat.

Sekali lagi tidak mudah. Manusia secara antropologis lahir dan besar dalam iklim kompetisi secara terus menerus. Siapa yang kuat ialah yang akan menguasai akses pada apapun. Baik pada harta, kedudukan maupun pada popularitas dihadapan manusia lain. Masing-masing manusia merasa bahwa ia harus berkembang, maju dan “unggul” saat diberikan kesempatan bersaing. Hingga dunia karier kemudian berubah menjadi rimba belantara yang membuktikan siapa yang kuat (pintar, cerdas, kaya) maka ialah yang jadi pemenang. Hal ini tentu saja berbeda dengan dinamika berkarier di dunia zakat. Para amil zakat bukanlah mereka yang “haus kekayaan”, mereka juga bukan pula orang-orang yang berkategori RT (Raja Tega) yang hanya akan dengan wajah dingin mengatakan : “maaf kami tidak bisa membantu, silahkan datang lain kali”.

 

Saatnya tunaikan Zakat
Penerima Zakat

Lima Dilema Amil
Dibalik sosok amil ideal yang dibutuhkan untuk memperkokoh gerakan zakat Indonesia. Sejatinya ada sejumlah dilema yang terjadi pada sejumlah OPZ dalam mengelola amil zakatnya masing-masing. Setidaknya sesuai kondisi real yang juga dirasakan oleh sejumlah OPZ, ada lima dilema yang dirasakan, yaitu :

Dilema pertama, dilema ini kita sebut dilema gaf finansial. Sebagaimana kita tahu, amil zakat umumnya mereka yang tertantang secara idealisme untuk terlibat dan membesarkan OPZ yang ada. Mereka berangkat dari keyakinan untuk memberikan kontribusi positif bagi umat. Jarang orang-orang yang terjun dalam dunia ini adalah mereka yang tidak punya idealisme dan keyakinan. Adalah wajar jika begitu kita semakin dalam menyelami kehidupan masing-masing mereka, kita akan menemukan mutiara-mutiara idealisme yang tertanam dalam. Mereka–apalagi yang generasi pertama pendiri OPZ—lebih banyak berpikir memberikan kontribusi pada umat dibanding untuk diri dan keluarga mereka. Dan, perlu kita semua sadari, sebagian mereka yang dengan sadar memilih menjadi amil ini bukanlah orang-orang kaya yang hidupnya berkecukupan. Mereka orang-orang sederhana namun jiwa dan letupan idealismenya kaya tak terhingga. Mereka rela berkorban apapun untuk bisa membantu banyak orang, bahkan mungkin juga mereka rela kehilangan jiwa mereka.

Ironisnya, di tengah kehidupan sederhana sejumlah amil zakat, ternyata mereka mengelola dana yang tidak sedikit. Hal ini cukup berbahaya bagi mereka yang tidak memiliki kekokohan dalam akidah dan keyakinan. Di tengah kehidupan sehari-hari mereka, mungkin juga ditengah munculnya beragam kebutuhan diri dan keluarga para amil, terutama kebutuhan finansial mereka, justeru mereka punya akses yang besar terhadap dana umat. Disinilah sesungguhnya dilema yang dimaksud dalam judul tulisan ini. Bagaimana tidak menjadi dilema kalau posisi para pengelola sesungguhnya cukup rawan.

Ingat bahwa kalau saja tidak ada kemampuan untuk istiqomah, jujur, amanah serta sabar dalam kebaikan pastilah akan hancur wajah dunia perzakatan indonesia yang disebabkan oleh segelintir oknum pengelola yang tidak amanah.

Dilema kedua, dilema ini bisa kita sebut dilema sumber daya manusia. Mengapa jadi dilema bagi OPZ?. Karena pada dasarnya, sebagaimana kita mencari mutiara, pastilah tak mudah. Sudah tempatnya di laut-laut dalam, mutiara juga adanya tersembunyi di dalam cangkang kerang yang kokoh. Semakin ingin mendapatkan mutiara yang terbaik, maka semakin pula kita harus berani menyelami lebih dalam dasar lautan dan menemukan kerang terbaik yang mungkin ada mutiara di dalamnya. Begitu pula yang terjadi pada OPZ ketika mencari orang yang akan ia ajak bergabung menjadi bagian organisasinya. Mencari amil yang baik ibarat mencari sosok pejuang yang jiwanya lebih banyak siap berkorban daripada mencari untung dan selamat sendirian. Kondisi ini terbukti ketika sejumlah OPZ pada saat lembaga zakat yang ada membuka iklan lowongan di berbagai media, yang mendaftar umumnya sangat terbatas jumlahnya, ditambah yang akhirnya bergabung-pun bukanlah orang-orang terbaik dikelasnya.

Lembaga zakat dalam beberapa kasus seolah menjadi lembaga “transit” bagi lulusan perguruan tinggi yang ada sebelum mendapatkan pekerjaan yang lebih mapan.

Dilema ketiga, dilema tata kelola organisasi. OPZ pada masa awal pertumbuhannya banyak yang bergaya pertemanan, dan hubungannnya tak terlalu formal. Seiring waktu, ada kebutuhan tata kelola organisasi yang lebih rapi, terstuktur dan didukung aturan yang baku dan mengikat. Dalam praktiknya, ternyata tidak mudah. Aturan-aturan yang ada bagi amil yang tidak siap di atur justru diangap membelengu dan membatasi kreativitas dan inovasi organisasi. Nah, dari berjalannya waktu, ketika OPZ memerlukan tata kelola yang baik dan mulai menegakan aturan-aturan yang ada, sejumlah orang belum langsung memiliki kemampuan berdapatasi dengan baik. Nah, di sinilah dibutuhkan penegakan aturan main yang memadai, namun yang terjadi seringkali OPZ-OPZ yang ada masuk dalam jebakan yang tak mudah. Ketika aturan yang ada diputuskan untuk diterapkan, bisa malah orang-orang awal yang bergabung menjadi amil di sana malah menyatakan mundur. Inilah yang jadi dilema sejumlah OPZ.

Komitmen memperbaiki tata kelola lembaga atau berani mengambil risiko kehilangan orang-orang lama yang loyal. Yang bergabung di fase awal ketika saat itu begitu susah mencari orang terbaik untuk menjadi bagian tim yang ada.

Dilema keempat, dilema ini kita sebut dilema menuju lompatan organisasi. Mengapa disebut menuju lompatan organisasi, karena secara alamiah organisasi yang sehat harus terus tumbuh dan sesekali bila momentumnya tepat, maka ia harus melompat. Bahkan bila perlu lompat setinggi-tingginya. Lompatan ini diperlukan untuk mengukur kekokohan organisasi serta kekompakan dan soliditas tim. Tak mungkin sebuah organisasi yang sakit mampu untuk melompat. Karena untuk bisa melompat sendiri setidaknya kita harus memiliki dua kemampuan dasar, yaitu maju ke depan dan melompat dengan aman. Mengapa harus aman?, karena untuk apa juga melompat bila justru kita menjadi celaka.

Artinya dalam konteks OPZ, sebuah organisasi zakat tak boleh bertumbuh biasa. Sesekali ia harus melompat untuk membuktikan seberapa kokoh ia memiliki dasar-dasar atau pondasi organisasi yang kuat. Tanpa kekuatan dasar ini, seberapapun besar peluang yang ada dihadapan, maka OPZ hanya akan menjadi penonton saja diantara pemain sejenis atau justru competitor dalam urusan yang sama.

Untuk bisa terus eksis dan melompat dengan aman, sebuah Organisasi Pengelola Zakat haruslah memastikan sumberdaya manusianya memadai dan memiliki kemampuan yang baik serta memiliki loyalitas yang tinggi terhadap nilai dan aturan organisasi. Selain itu, diperlukan pula pemahaman, pengetahuan serta keterampilan yang memadai yang berkaitan dengan cara mengelola (me-menej) organisasi pengelola zakat. Apabila hal ini bisa terlaksana dengan baik, maka seberapapun sulitnya tantangan organisasi pengelola zakat, ia akan mampu bertahan, bahkan bisa terus eksis dan berkembang.

Dilema kelima, ini yang disebut dilema penunaian tugas utama OPZ.

OPZ selain melakukan pengelolaan zakat dengan segenap kemampuan terbaiknya, ia juga memiliki tanggungjawab untuk melakukan sosialisasi dan edukasi nilai-nilai zakat, baik kepada muzaki maupun pada para mustahik.

Ada kewajiban transfer Islamic Value dari OPZ ke mereka semua, bahkan ini harus dilakukan terus menerus dalam seluruh dinamika organisasi OPZ.

Organisasi pengelola zakat tidak cukup menunjukan keamanahan, kejujuran dan kemampuan SDM-nya dalam yang ada di sebuah lembaga pengelola zakat. Hal tersebut sekali lagi bukanlah hal mudah, mengingat sifat-sifat tersebut tidak bisa didapatkan secara singkat. Hal itu dikarenakan menyangkut sebuah perilaku, yang tidak serta merta akan melekat begitu diajarkan. Semuanya butuh proses panjang yang tidak sebentar.

Bagi para pengelola zakat, sesungguhnya dilema yang ada bukanlah sebuah harga mati yang statis. Itu semua hakikatnya adalah tantangan yang membutuhkan kerangka solusi. Sehingga kalau bisa melewati hal tersebut, maka sangat mungkin lembaga yang ada akan eksis dan terus berkembang. Semoga.

Wallahu a’lam bishowwab

#Ditulis oleh Nana Sudiana (Direktur Pendayagunaan IZI & Sekjend FOZ) menjelang fajar Rabu, 26 September 2018 di Belahan Timur Kota Jakarta. Tulisan ini juga di inspirasi sebagian dari tulisan ustadz Munari Abdillah

*di edit seperlunya 

Tinggalkan Komentar