Takwa di Setiap Masa

Ramadhan telah undur diri, masjid kembali sepi, suara tilawah Al Qur’an tak terdengar lagi, qiyamul lail tak lagi dilazimi. Seiring dengan berakhirnya Ramadhan, Syawal menyapa, maksiat kembali merajalela, catatan amal dipenuhi dosa, manusia kembali menuruti nafsu syahwatnya. Astaghfirullah wa na’udzubillah.

Itulah kondisi selepas Ramadhan. Di mana berakhirnya Ramadhan seolah diartikan dengan berakhir pula ketakwaan. Awal syawal berarti terpacunya kembali kemaksiatan. Begitu cepat keyakinan kita berpindah. Sekilat itu iman tergadaikan.

Kondisi di atas bisa jadi muncul karena anggapan yang salah tentang Ramadhan. Anggapan bahwa Ramadhan adalah bulan ketakwaan dan bulan ibadah sehingga di luar bulan Ramadhan tak perlu menjaga ibadah serta ketakwaan tersebut. Ini keliru dan perlu diluruskan.

Ketakwaan tak memandang tempat dan masa. Ia harus selalu dipupuk di setiap tempat dan masa. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman, “Dan sembahlah Tuhanmu sampai yakin (ajal) datang kepadamu.” [QS. Al-Hijr (15) : 99]. Imam Hasan al Bashri mengatakan, “Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak menjadikan batas akhir untuk amalan seorang mukmin selain kematian.”

Jika kita termasuk dari orang yang menanggalkan semua amal shalihnya ketika Syawal tiba, berarti kita termasuk orang yang merugi. Karena amal shalih di bulan Ramadhan ibaratkan benang yang kita pintal. Dan meninggalkannya setelah Ramadhan usai berarti kita telah mengurai kembali benang-benang yang telah kita pintal.

Seorang Salaf pernah ditanya tentang suatu kaum yang menggebu-gebu beramal shalih di bulan Ramadhan, namun jika Ramadhan berlalu ia kembali malas. Beliau menjawab, “Seburuk-buruk kaum adalah mereka yang tidak mengenal Allah kecuali di bulan Ramadhan saja. Sedangkan orang yang shalih adalah orang yang beribadah kepada Allah sepanjang tahun.”

Asy Syibliy rahimahullah pernah ditanya, “Bulan manakah yang lebih utama, Rajab atau Sya’ban?” Ketika beliau mengetahui kemungkinan diremehkannya salah satu dari dua bulan tersebut, maka beliau menjawab, “Jadilah Rabbaniyyun dan jangan menjadi Sya’baniyyun.” Maksudnya adalah jadilah hamba Rabbaniy di setiap masa. Dan janganlah menjadi ahli ibadah di bulan Sya’ban saja.

Begitu pula dengan Ramadhan. Janganlah kita menjadi Ramadhiyyun, tapi jadilah Rabbaniyyun. Artinya janganlah kita memaksimalkan ibadah kita hanya di bulan Ramadhan. Sedangkan di bulan lain kita lalai dalam beribadah.

Tak ada yang spesial dari kita. Jika kita bangun untuk qiyamul lail, sedang yang lain juga melakukannya. Jika kita ingin mendapatkan predikat hamba yang spesial di sisi-Nya, maka kita harus bangun untuk qiyamul lail selagi orang lain masih terlelap dalam mimpinya. Tetap bermujahadah di saat orang lain mulai melemah. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kepada kita agar selalu istiqamah dalam beramal shalih. Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu walaupun itu sedikit.” [HR. Muslim]

Ibnu Rajab Al Hambali menjelaskan, “Amalan yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam adalah amalan yang konsisten dilakukan (kontinu). Beliau pun melarang memutuskan amalan dan meninggalkannya begitu saja. Sebagaimana beliau pernah melarang melakukan hal ini pada sahabat ’Abdullah bin ’Umar.” Yaitu Ibnu ’Umar dicela karena meninggalkan amalan shalat malam.

Selain itu, beliau juga mengajarkan kita agar istiqamah dengan mengikuti Sunnah-sunnahnya. Jika pada bulan Ramadhan terdapat kewajiban berpuasa, di bulan Syawal pun ada syariat berpuasa Syawal. Juga puasa sunnah lainnya, seperti puasa senin kamis, puasa ayaumul bidh ataupun puasa Daud.

Jika pada bulan Ramadhan terdapat shalat tarawih, maka di luar bulan Ramadhan juga terdapat syariat qiyamul lail. Bahkan Allah menyebut qiyamul lail adalah kebiasaan ahlul jannah. Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada di dalam taman-taman (surga) dan mata air. Mereka mengambil apa yang diberikan Tuhan kepada mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu (di dunia) adalah orang-orang yang berbuat baik. Mereka sedikit sekali tidur pada waktu malam. Dan pada akhir malam mereka memohon ampunan (kepada Allah).” [QS. Adz Dzariyat (51) : 15-18]

Jika di bulan Ramadhan terdapat kewajiban berzakat fitrah, maka di luar bulan Ramadhan pun terdapat syariat berzakat. Yang tak lain adalah zakat mal. Selain itu juga disunnahkan berinfak dan bershadaqah. Dalam firman-Nya, “Sesungguhnya orang-orang yang bersedekah baik laki-laki maupun perempuan dan meminjamkan kepada Allah dengan pinjaman yang baik, akan dilipatgandakan (balasannya) bagi mereka; dan mereka akan mendapat pahala yang mulia.” [QS. Al-Hadid (57) : 18].

Demikian pula dengan tilawah Al-Quran. Syariat tilawah tidak hanya dikhususkan pada bulan Ramadhan saja, namun juga disyariatkan di bulan-bulan lainnya. Bahkan para sahabat mengkhatamkan Al Quran hanya selama tujuh hari di luar bulan Ramadhan.

Jika Sunnah-sunnah Rasul-Nya mampu kita realisasikan di kehidupan sehari-hari, maka amal kita tetap terjaga. Walaupun jarak dengan bulan Ramadhan sangatlah jauh. Selain itu, kita juga harus selalu memohon keistiqamahan kepada Allah. Dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata bahwasanya ia pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya hati semua manusia itu berada di antara dua jari dari sekian jari Allah Yang Maha Pemurah. Allah Subhanahhu wa Ta’ala akan memalingkan hati manusia menurut kehendak-Nya.” Setelah itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdoa; “Allahumma mushorrifal quluub shorrif  quluubanaa ‘ala tho’atik” (Ya Allah, Dzat yang memalingkan hati, palingkanlah hati kami kepada ketaatan beribadah kepada-Mu!) [HR. Muslim].

Semoga Allah selalu memberikan kemudahan bagi kita untuk senantiasa menjalankan perintah-Nya dan sunnah-sunnah Rasul-Nya. Serta memberikan keistiqamahan bagi kita. Aamiin.

Tinggalkan Komentar